Secara bahasa kata rumah (al-bait) dalam Qamus Al-Muhith bermakna: kemuliaan, istana, keluarga seseorang, kasur untuk tidur, bisa pula bermakna: menikahkan, atau orang yang mulia.
Rumah tangga Islami adalah rumah tangga yang didalamnya terdapat iklim yang sakinah (tenang), mawadah (penuh cinta) dan rahmah (sarat kasih saying). Perasaan itu senantiasa melingkupi suasana rumah setiap harinya. Seluruh anggota keluarga merasakan suasana “surga” di dalamnya. Sesuai slogan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Baiti Jannati.
Prinsip-prinsip dasar Rumah Tangga Islami, antara lain:
- Ia tegak di atas landasan Ibadah
Rumah tangga Islam harus didirkan dalam rangka beribadah kepada Allah Swt semata. Artinya sejak proses pemilihan jodoh, bertemu, menjalin kesepakatan hingga pelaksanaan pernikahan tidak terlepas dari prinsip ibadah.
Ketundukan sejak langkah awal mendirikan rumah tangga setidaknya menjadi pemicu untuk tetap tunduk dalam langkah-langkah selanjutnya kelak, jika terjadi permasalahan dalam rumah tangga akan dengan mudah menyelesaikannya, karena semua telah tunduk kepada peraturan Allah dan Rasulnya.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku” (Adz Dzariyat:56)
- Nilai-nilai Islam terinternalisasi secara kaffah
Internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah (menyeluruh) harus terjadi dalam diri setiap anggota keluarga sehingga mereka senantiasa komit terhadap adab-adab Islami.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. (Al-Baqarah:120)
Untuk itu rumah tangga Islami dituntut untuk menyediakan sarana-sarana tarbiyah islamiyyah yang memadai, agar proses belajar, menyerap nilai dan ilmu sampai akhirnya aplikasi dalam kehidupan sehari-hari bisa diwujudkan. Internalisasi ini harus berjalan terus menerus, bertahap dan berkesinambungan. Tanpa hal ini, adab-adab Islami tak akan bisa ditegakkan.
- Hadirnya Qudwah yang nyata
Untuk menegakkan Islam secara kaffah perlu qudwah (Keteladanan) yang nyata dari sekumpulan adab Islam yang hendak diterapkan. Orang tua mempunyai posisi yang sangat penting dalam hal ini. Sebelum memerintah kebaikan atau melarang kemungkaran kepada anggota keluarganya, pertama kali orang tuanya harus memberikan keteladanan.
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan” (Ash-Shaf:3-4)
Keteladanan sangat diperlukan, dalam proses interaksi anak-anak dengan orang tuanya sangatlah dekat. Anak akan langsung mengetahui kondisi ideal yang diharapkan. Di sisi lain, pada saat anak-anak masih belum dewasa, proses pencerapan nilai-nilai lebih tertekankan pada apa yang mereka lihat dan dengar dalam kehidupan sehari-hari. Tak banyak manfaat orang tua menyuruh anak-anaknya rajin melaksanakan shalat tepat waktu, sementara ia sendiri selalu asyik melihat acara televisi saat adzan mahrib tiba.
- Masing-masing anggota keluarga diposisikan sesuai syariat
“Dan janganlah kamu iri hati apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu, lebih banyak dari yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (An Nisa’:32)
Masih banyak keluarga muslim yang belum bisa berbuat sesuai dengan tuntunan Islam. Betapa banyak kita dengar keluhan keguncangan keluarga Muslim bermula tidak terpenuhinya hak dan kewaiban masing-masing. Suami hanya menuntut haknya dari istri dan anak-anaknya tanpa mau memenuhi kewajibanya. Demikian pula dengan istrinya. Yang terjadi kemudian adalah ketidak harmonisan Susana rumah tangga tersebut.
Penyimpangan seksual yang dilakukan oleh orang tua dan remaja, sumbernya berawal dari ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Fungsi-fungsi tidak berjalan secara normal, karena adanya katup-katup curahan perasaan yang tersumbat, dan akhirnya meledak dalam bentuk penyimpangan-penyimpangan.
Dalam Islam masing-masing anggota dalam rumah tangga mendapatkan posisinya. Suami adalah pemimpin umum yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup rumah tangga. Karenanya tugas mencari penghidupan dibebankan dipundaknya. Istri adalah pemimpin rumah tangga untuk tugas-tugas internal, yang bertugasmengatur urusan kerumahtanggaan, baik ditangani sendiri maupun dengan bantuan orang lain.
Sabda Rasulullah Saw.: “Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Lelaki adalah pemimpin di rumah tangganya dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya”. (HR Bukhari)
- Terbiasakanya ta’awun dalam menegakkan adab-adab Islam
“Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (Al-Maidah: 2)
Betapa sulit kita membentuk suasana islami apabila kerjasama antar anggota keluarga tidak terwujud. Masing-masing sibuk dengan berbagai urusannya. Mungkin juga masing-masing aktif di pengajian, namun tidak ada suasana saling tolong menolong dan menasihati dalam kebaikan dan taqwa.
Rumah hanya menjadi tempat tidur dan tempat istirahat di malam hari. Jika pun ada komunikasi antar mereka di rumah maka komunikasi itu tidak lagi dibarengi dengan suasana hangat. Tentu keluarga ini akan sulit untuk menciptakan suasana islami. Apalagi mengemban beban dakwah lebih luas.
- Rumah terkondisikan bagi terlaksnanya peraturan Islam
Dalam budaya masyarakat tertentu lantaran permasalahan ekonomi—rumah hanyalah bangunan segi empat memanjang tanpa sekat ruang di dalamnya. Tidak ada ruang khusus bagi anak-anak perempuan yang terpisah dengan anak-anak laki-laki. Begitu juga ruang khusus suami istri.
Pada masyarakat modern, problem perumahan sangat mendesak bagi tiap keluarga. Ruang-ruang terbatas dan sangat sempit serta jarak antar rumah hanya sebatas satu tembok sudah dianggap biasa. Berbagai penyakit social akan menjadi ancamen serius di lokasi seperti ini.\
- Tercukupinya kebutuhan materi secara wajar
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (Al Qashash: 77)
Tindak lanjut dari point sebelumnya, amat jelas menggambarkan betapa keluarga Muslim dituntut memiliki materi yang cukup. Rumah yang luas dan kondusif pun juga dibutuhkan bagi upaya terbentuknya suasana islami. Walau bukan berarti rumah mewah dan lengkap dengan sarana kemewahannya. Akan tetapi melihat harga-harga sekarang , maka harus terpenuhi kebutuhan materi yang cukup untuk itu.
Bukan hanya itu, sarana berlangsungnya tarbiyah islamiyyah pun membutuhkan sejumlah materi. Membuat perpustakaan kecil, menghadirkan sarana permainan islami yang mencerdaskan anak, juga membutuhkan biaya. Belum lagi untuk pendidikan yang bermutu.
- Rumah tangga dihindarkan dari hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Islam
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (At-Tahrim: 6)
- Anggota keluarga terlibat aktif dalam pembinaan masyarakat
“Serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula” (An-Nahl: 125)
Dalam era global ini, kita tidak mungkin bisa hidupsendirian terpisah dengan masyarakat, betapapun taatnya keluarga kita terhadap norma-norma ilahiyah, apabila lingkungan sekitar tidak mendukung, pelarutan-pelarutan nilai akan mudah terjadi, lebih-lebih pada anak-anak.
- Rumah tangga dijaga dari pengaruh lingkungan yang buruk.
Pada suatu kasus yang amat parah, keluarga muslim bahkan harus meninggalkan lokasi jahiliyah itu untuk mencari tempat yang lain yang lebih baik. Hal ini dilakukan demi kebaikan mereka.
”Maka tetaplah kamu dalam jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga kepada orangyang telah bertaubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zhalim yanh menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak memiliki seorang penolongpun selain Allah, lalu kamu tidak akan diberi pertolongan”. (Hud: 112-113)
Dikhawatirkan ketidak mampuan keluarga Islami untuk memberikan celupan nilai keislaman pada masyarakatnya akan berimbas buruk pada diri mereka sendiri. Artinya tatkala mekanisme defensive belum terjadi secara otomatis, maka ada peluang bagi munculnya rembesan-rembesan suasana jahiliyah dalam rumah tangga islami. Keluarga tersebut kian terdesak dan akhirnya larut dalam keburukan.
Demikian beberapa karakter dasar rumah tangga islami. Apabila sepuluh hal tersebut ada dalam suatu rumah tangga, tentu dari sana akan senantiasa memancar cahaya Islam ke lingkungan sekitarnya.
0 komentar:
Posting Komentar